30 Juli 2025 - 12:11
Ziarah Arba’in; Dari Ibadah Ritual hingga Gerakan Peradaban Islam

Ziarah dalam Islam bukan hanya ibadah individu semata; melainkan alat peradaban untuk membangkitkan kesadaran, persatuan, dan melawan penindasan. Ziarah Arba’in khususnya merupakan contoh nyata bagaimana ritual keagamaan dapat menjadi gerakan sosial yang berpengaruh dalam dunia Islam.

Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- ziarah memiliki posisi khusus dalam Islam dan merupakan simbol iman yang mendalam serta solidaritas umat Islam. Salah satu ziarah dan ibadah penting dalam Islam adalah haji wajib yang mengarahkan umat Muslim ke Rumah Allah, memberikan kesempatan untuk memperkuat iman serta menciptakan persatuan dan solidaritas di antara umat Islam. Ibadah ini bukan hanya simbol penghambaan, tapi juga sebagai gerakan sosial dan peradaban yang mengumpulkan Muslim dari berbagai belahan dunia dalam suasana spiritual bersama untuk memperbaharui janji dengan Allah.

Dalam konteks yang sama, ziarah kepada Imam Husain a.s., terutama dalam bentuk epik global ziarah Arba’in, menjadi manifestasi baru dari gerakan peradaban modern dan bermakna dalam dunia Islam. Ziarah ini bukan hanya ritual keagamaan, tapi juga simbol solidaritas dan perlawanan terhadap penindasan dan imperialisme dunia. Arba’in bukan hanya pengingat peristiwa Asyura dan ketidakadilan yang dialami Imam Hussain a.s., tetapi juga sebagai simbol persatuan umat Muslim dan kemanusiaan melawan kezaliman.

Arba’in adalah kesempatan untuk memperbaharui komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan Islam, serta usaha melepaskan diri dari fanatisme dan pandangan dangkal yang mungkin menghalangi pemahaman yang benar terhadap agama. Gerakan besar ini, yang setiap tahun menarik jutaan orang ke Karbala, merupakan manifestasi kesadaran kolektif dan lintas bangsa yang melampaui batas dan perbedaan budaya. Peziarahan Arba’in mengajarkan kita bahwa hanya dengan mewujudkan solidaritas sejati dan kembali kepada prinsip-prinsip kemanusiaan asli, kita dapat terbebas dari fanatisme etnis, rasial, dan sektarian. Solidaritas ini harus terwujud tidak hanya secara individu tetapi juga di ranah sosial dan internasional untuk membuka jalan menuju masyarakat yang manusiawi, mulia, dan berkeadilan.

Tentunya, jika kita mampu memanfaatkan ziarah dan ritual keagamaan sebagai alat untuk memperdalam kesadaran, solidaritas, dan persatuan Islam, maka kita akan semakin dekat kepada hakekat agama; hakekat yang berisi cinta, kasih sayang, keadilan, dan membantu yang tertindas. Ziarah Arba’in, dengan menciptakan wadah pertukaran ide, pengalaman, dan perasaan spiritual, dapat menjadi kesempatan untuk melampaui pandangan dangkal umum dan mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran agama, tentu dengan syarat tidak ada tumpang tindih atau ketidakharmonisan intelektual dalam hal ini.

Di sisi lain, ajaran Islam jelas menekankan kewajiban membela yang tertindas. Al-Qur’an dan hadis Nabi mendorong kita untuk menolong para tertindas, bahkan jika mereka bukan Muslim. Misalnya, ayat 75 Surat An-Nisa menjadi bukti kuat: "Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah untuk membela lelaki, perempuan dan anak-anak yang tertindas yang berkata: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zalim, dan jadikanlah kami penolong dari sisi-Mu dan jadikanlah kami penolong dari sisi-Mu'?" Ayat ini menunjukkan tanggung jawab sosial setiap Muslim terhadap yang tertindas; tanggung jawab yang melampaui ibadah individual dan menjadi tugas kolektif dalam menegakkan keadilan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.

Ziarah Ahlulbait a.s., khususnya ziarah Imam Husain a.s. dan secara khusus ziarah Arba’in, bukan sekadar ritual ibadah, melainkan mencerminkan sebuah sistem peradaban yang berlandaskan ketahanan terhadap penindasan dan menghidupkan kembali kebenaran kemanusiaan. Ziarah ini menjadi bermakna dan efektif bila disertai pemahaman mendalam tentang kedzaliman yang dialami Imam Hussain a.s. dan pesan-pesan abadi beliau.

Imam Hussain a.s. syahid bukan hanya untuk membela haknya, tapi untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan Islam pada hari Asyura, yang puncaknya dirayakan pada Arba’in. Peristiwa ini menunjukkan puncak spiritualitas Imam a.s. yang mengorbankan nyawa dan anak demi menjaga simbol-simbol Allah: "Sesungguhnya aku tidak keluar untuk kejahatan, kesombongan, kerusakan, atau penindasan. Aku keluar untuk memperbaiki umat kakekku (Nabi Muhammad SAW dan keluarganya)." (Bihar al-Anwar, Jilid 44, hal 327)

Sekarang, mari kita renungkan: Jika kita hanya melakukan ziarah tanpa memahami makna mendalam dari perjuangan ini, apakah kita benar-benar mencapai tujuan utama ziarah? Berdiri melawan penindasan dan membela yang tertindas bukan hanya kewajiban agama, tapi juga prinsip kemanusiaan dan etika dasar. Acuh tak acuh terhadap penderitaan yang tertindas adalah tanda nyata dari kelalaian dan menjauh dari ajaran agama yang sejati.

Islam adalah agama tanggung jawab, kesadaran, dan tindakan; agama yang tidak mentolerir diam terhadap penindasan. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barang siapa mendengar seseorang yang memanggil kaum Muslimin untuk membantu yang tertindas, tapi tidak menolongnya, maka dia bukan Muslim." (Hadits ini diriwayatkan dalam beberapa sumber, termasuk Tafsil Wasail dan Bihar al-Anwar) Hadis ini menegaskan bahwa membantu yang tertindas adalah hakikat keislaman, meskipun hal ini memiliki dimensi yang lebih luas yang akan dibahas kemudian.

Oleh karena itu, jika ziarah dan ibadah kita tidak disertai dengan tindakan sosial nyata dalam masalah umat Muslim, khususnya dalam membela yang tertindas, maka tidak hanya akan sia-sia, tapi juga dapat menjauhkan kita dari hakekat agama. Karena itu, dalam hal pembelaan dan dukungan bagi yang tertindas, kita harus berusaha memahami secara nyata penderitaan mereka dan menyelamatkan mereka, serta memberi makna pada ibadah kita dengan menjadi Muslim yang berkomitmen, melangkah menuju keadilan dan membela yang tertindas. Jelas bahwa kebahagiaan sejati tergantung pada ketaatan terhadap ajaran agama, tanggung jawab sosial, dan usaha mewujudkan keadilan.

Ziarah Arba’in bukan hanya tindakan ibadah, tetapi gerakan peradaban yang dapat menjadi landasan perubahan positif dalam masyarakat manusia, serta peradaban Islam yang mencakup berbagai dimensi peradaban dan peningkatan individu dan sosial umat Islam. Jika pengaruh pertemuan umat Muslim dapat dirasakan secara nyata, maka akan meningkatkan spiritualitas sosial masyarakat beragama dan menerapkan model pendidikan dan pelatihan agama. Namun jika hanya menjadi acara massal tanpa pengaruh peradaban mendalam, maka akan menjadi hal yang biasa saja seperti yang banyak terjadi di antara umat Islam tanpa efek nyata. Oleh sebab itu, Pemimpin Besar Revolusi Islam berulang kali menekankan peran peradaban dalam gerakan Arba’in; peradaban yang tidak hanya slogan, tapi harus terwujud dalam praktik nyata. Jika peradaban ini benar-benar terwujud, efeknya harus terlihat dalam dukungan terhadap Gaza dan kaum tertindas dunia serta perjuangan melawan ideologi Zionisme dengan pengorbanan harta dan jiwa secara nyata.

Singkatnya, Asyura bukan peristiwa sejarah yang telah selesai; ia masih berlangsung, dan ziarah Arba’in adalah kesempatan untuk menghidupkannya secara terus-menerus dalam sejarah dan masyarakat.

Your Comment

You are replying to: .
captcha